KOMUNITAS PECINTA KOMIK

Habis Ratusan Juta Demi Komik Indonesia

VIVAnews--ADA banyak cara mengenang masa lalu. Bagi sebagian kecil orang, salah satu cara adalah melalui komik. Melalui komik, seseorang bisa menerobos ke memori masa lalu.

Salah satu pelakunya adalah Iwan Gunawan, 46 tahun. Direktur Pasca Sarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini punya kenangan hangat pada komik Indonesia. Ia begitu bersahabat dengan tokoh-tokoh macam Gundala, Godam, Pangeran Mlaar, dan cerita silat ala Ganes Th.

Kenangan pada tokoh-tokoh komik Indonesia bermula saat Iwan duduk di bangku kelas I Sekolah Dasar. Saat itu dia tinggal bersama kakak kandungnya, yang juga pencinta komik. Kakaknya juga mendirikan persewaan komik di rumahnya. Itu membuatnya leluasa melalap berbagai karakter tokoh komik Indonesia. Masa itu dikenangnya sebagai masa penjelajahan Iwan terhadap komik Indonesia.

Hingga lulus SD, ia menghabiskan banyak waktu membaca komik milik kakaknya. Salah satu tokoh yang dia senangi adalah “Wiro Anak Rimba.” Ini cerita tentang Tarzan cilik Indonesia yang mengelilingi hutan-hutan Indonesia.

Chandrika Chika Terjerat Kasus Narkoba, Jenis dan Bahaya Napza Bikin Melongo!

Saat duduk di bangku kuliah, di Fakultas Desain Komunikasi Visual IKJ, Iwan kembali bersentuhan dengan dunia komik. Hal ini terjadi saat dia harus membuat tugas akhir kuliah: skripsi. Saat itu ia mulai mencari tema. Akhirnya dia memutuskan menulis skripsi tentang “komik wayang.” Di sini ia bercerita banyak tentang komik wayang Indonesia. Salah satunya tentang tokoh-tokoh komik wayang yang dibuat RA Kosasih.

Lulus kuliah, Iwan kemudian bekerja di almamaternya. Di sini ia mengajar desain grafis. Asyik sebagai dosen, hubungannya dengan komik mulai memudar.

Sampai ketika tahun 1997. Saat itu Iwan diajak oleh Rahayu dan Jefri, koleganya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Iwan diminta membantu menggarap pameran komik yang akan digelar Kajian Komik Indonesia.
Tempat pameran itu di Galeri Nasional, Gambir. Pada masa itu Iwan teringat pada koleksi komik kakaknya. Ia pun mulai mengumpulkan komik keluaran 1950 sampai 1970 itu.

Ia pun merepro tokoh-tokoh komik itu dalam bentuk lebih besar. Bahkan, tokoh Gundala ia fotokopi perbesar hingga menyamai tubuh manusia. Gambar ini lalu ia lekatkan di atas kardus busa dan dibuat patung dua dimensi.

Pameran itu adalah salah satu pameran komik terbesar. Pameran itu berjalan sukses. Komunitas-komunitas pembuat komik indie ikut hadir. Mereka bahkan mendeklarasikan pendirian Masyarakat Komik Indonesia. “Tapi pada saat itu saya tidak ikut,” kata Iwan. Ia sendiri cukup puas melihat koleksi komiknya diapresiasi para pengunjung pameran.

Viral MUA Ceritakan Kisah Pengantin Kesurupan Gegara Tidak Ziarah Kubur Sebelum Nikah

Usai pameran, ia pun kembali sibuk mengajar. Tapi asosiasinya dengan komik muncul kembali. Itu dilakukan saat ia dan para pencinta komik di kampus IKJ mendirikan Pengumpul Komik Indonesia (Pengki). Pengki berdiri pada 2002. Mereka semua disatukan oleh kecintaan pada komik.



Pameran komik pertama Pengki digelar di British Council, Bursa Efek Jakarta, Jakarta Selatan. Pameran berlangsung sukses. Pada pameran itu dia juga berjumpa dengan Andi Wijaya, Suryo Rimba dan Syamsudin. Mereka langsung berkawan akrab. Selain dasar kecocokan minat, mereka juga melihat gairah terhadap komik Indonesia harus diperluas lagi.

“Saat itu muncullah ide untuk membangun www.komikindonesia.com,” kata Iwan. Dari obrolan ringan mereka berempat itu, akhirnya mereka memutuskan membangun situs komik Indonesia. Situs ini boleh dibilang situs pertama tentang komik Indonesia di dunia maya. Situs ini berdiri tahun 2003.

Situs ini terus bertahan sampai sekarang. Di halaman atas, terdapat gambar beberapa tokoh komik Indonesia. Mereka di antaranya adalah Godam, Gundala, dan Si Buta dari Gua Hantu. Pengunjung perhari situs ini  sekarang mencapai 661 orang. Pengunjung bulanan tembus 5.789 orang.

Situs ini juga dilengkapi oleh milis. “Anggotanya sekarang mencapai 1.000 orang,” ujar Iwan. Di milis ini para anggota milis bisa mengungkapkan unek-unek pada komik Indonesia. Di sini juga para anggota bisa mengungkapkan sedang mencari koleksi komik langka. Ada juga yang memanfaatkan milis untuk menjual koleksi komiknya. Pokoknya ramai. Di situs ini juga termuat tentang info pameran komik.

Sayangnya situs ini belum dikelola secara maksimal. Situs ini belum mendorong lahirnya sebuah organisasi tunggal pencinta komik. Sehingga para pecinta komik yang ikut dalam milis ini hanya melakukan jumpa fisik saat pameran-pameran.

Masing-masing anggota diikat oleh kesamaan minat personal. Mereka ingin kembali memburu memori saat mereka kecil dan menikmati komik-komik Indonesia.



Efek dari komunitas ini juga cukup bagus bagi harga komik lokal. Bila dulu komik bekas edisi lama harganya hanya beberapa ribu rupiah, sekarang para kolektor berani menghargai Rp 200 ribu per buah!

Menurut Iwan, menjaga komunitas komik Indonesia cukup gampang. Karena mereka dipersatukan oleh kesamaan minat. Para anggotanya sebagian besar adalah kolektor. Sebagian laginya adalah penikmat komik. Mereka datang dari berbagai profesi.

Yang lebih sulit, kata Iwan, adalah membangkitkan kembali gairah industri komik Indonesia. Beberapa komunitas komik indie sekarang memang bermunculan di kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogya. Namun itu semua tak cukup membangkitkan komik lokal yang sudah mati suri sejak awal 1980-an.

Karena panggilan batin untuk membangkitkan komik nasional itu pula, Iwan lalu menggagas sebuah majalah komik. Namanya “Sequens.” Ini adalah majalah khusus komik. Satu-satunya majalah yang membahas perkembangan komik Indonesia.

Penerbitan “Sequens” juga berangkat dari kegelisahan Iwan. Ia melihat tidak ada wahana yang bisa menjembatani penerbitan komik, pembaca, dan kreator. Akhirnya semua berjalan sendiri-sendiri dengan logika masing-masing. Penerbit komik berjalan dengan logika keuntungan, pembaca dengan logika peminat, dan kreator dengan logika estetika.

Majalah “Sequens” pertama kali terbit tahun 2005. Kantornya menumpang di kantor Iwan di Jalan Malabar, Guntur, Jakarta Selatan, tempat Iwan bekerja sebagai konsultan desainer. Penerbitan pertama dicetak 5.000 eksemplar dengan jumlah halaman 96 per edisi. Ongkos sekali terbit memakan biaya Rp 40 jutaan.

Rencananya “Sequens” akan terbit dua bulan sekali. Tapi ternyata staminanya kedodoran. Akhirnya waktu terbitnya molor hingga empat bulanan. Dan sampai penerbitan keempat, “Sequens” kehabisan nafas.  Iwan Gunawan sudah tak tahan. Dari uang pribadinya ia sudah menghabiskan hingga Rp 160 juta! Sementara, minat pada komik Indonesia, tidak seheboh seperti yang diduga Iwan.

Apakah Iwan kapok? “Tidak. Saya tidak kapok,” ujarnya. Ia sendiri berharap akan melahirkan majalah model “Sequens” untuk kali kedua. Ia tahu hal ini tidak mudah. Karena industri komik Indonesia sudah semaput lama.

Tapi demi komik, ia mau mengulang kegagalannya menjadi sukses.

Tetap Gunakan Sirekap di Pilkada Serentak, KPU: Kami Punya Kewajiban untuk Terbuka
Anies dan Cak Imin di KPU

Anies dan Cak Imin Kompak Datang ke KPU: Kita Hormati Proses Bernegara

Pasangan Anies-Muhaimin (AMIN) secara mengejutkan datang ke gedung KPU untuk menyaksikan acara penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024