Kasus Bibit-Chandra

Mengapa Jutaan Orang Dukung KPK

VIVAnews --"Sebagai seorang muslim, lillahita'ala... Saya tidak pernah mendapat duit 10 miliar. Dari siapapun, yang katanya terkait kasus Bank Century...", ujar Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji, di depan rapat anggota Komisi III DPRRI dengan Kapolri, Kamis 5 November 2009. Air mukanya tegang. Matanya basah.

Turun 12,76 Persen, BPS Catat Kinerja Impor Maret US$17,96 Miliar Gegara Ini

Puluhan anggota dewan seperti terbius. Kesaksian Kepala Badan Reserse Kriminal Polri yang baru saja nonaktif itu mengundang keplokan riuh di ruang rapat. Adegan itu memang mirip reality show. Di luar soal benar atau tidak isi “sumpah” itu, Susno sempat mengaduk emosi banyak orang. Acara itu disaksikan jutaan mata lewat televisi di sekujur negeri.

Episode “Cicak Lawan Buaya” seperti memasuki babak baru setelah kesaksian Susno di DPR itu. Cerita bergulir kian hari kian panas (lihat Sorot 55). Ketegangan dua lembaga memuncak setelah polisi menahan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, oleh Mabes Polri pada Kamis 29 Oktober 2009 sore. 

DPRD Provinsi Jambi Gelar Acara Halal Bihalal, Edi Purwanto: Semoga Kembali Fitri

Polisi menuding Bibit dan Chandra tersangkut perkara penyalahgunaan kewenangan pencekalan atas bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan mantan bos PT Era Giat Prima, Joko Soegiarto Tjandra. Tapi, penahanan itu sontak membangkitkan kritik tajam dari masyarakat luas.

Apalagi, beberapa hari sebelumnya beredarnya transkrip rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo—adik dari Anggoro Widjojo, dengan sejumlah pejabat penegak hukum. Dari laku pembicaraan telepon itu tersirat adanya rekayasa menamatkan riwayat KPK.

Saldi Isra Sebut Pj Gubernur Tak Netral Demi Menangkan Paslon Tertentu Seperti di ‘Kandang Banteng’

Penahanan itupun dinilai tak patut, dan mengoyak rasa keadilan. Apalagi alasan penahanan itu dirasakan tak kuat benar. “Masak orang mau konferensi pers saja ditahan. Itu kan dalam konteks dia memperjuangkan hak konstitusionalnya," kata anggota Mahkamah Konstitusi, Akil Muchtar di Gedung MK, Jakarta, pekan lalu. " Ini negara demokrasi bukan sosialis," dia menambahkan.

Bekas Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga prihatin. Penahanan ini, kata Hidayat, bisa membunuh semangat pemberantasan korupsi. Tak kurang, sejumlah tokoh nasional pun berhimpun mendukung Bibit dan Chandra.  Bahkan, Dr Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Indria Samego, Satya Arinanto, Syamsuddin Haris, J Kristiadi, Imam Prasodjo, Syafi'i Anwar, dan Radhar Panca Dahana bersedia menjaminkan diri mereka ke polisi untuk pembebasan kedua petinggi KPK itu.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution menilai polisi sudah kebablasan. “Mereka (Bibit dan Chandra-red) orang terhormat, tak akan melarikan diri. Jadi apa alasannya harus ditahan? Dukungan lain mengalir dari Gus Dur,  Jimly Asshiddiqie, Akbar Tandjung, dan Din Syamsuddin. Mereka bersedia turut menjadi penjamin penangguhan penahanan.

Kemarahan juga merebak di jalur maya. Di jejaring sosial Facebook, satu grup bertajuk “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto” mendadak melejit. Grup itu menjadi favorit. Para facebookers menjadikannya sebagai “mimbar bebas”. Segenap umpatan dan hujatan mengarah ke polisi, yang dituding berbuat sewenang-wenang kepada Bibit-Chandra.

Awalnya, Usman tak mengira group ini bakal menjadi begitu besar. Ia cuma mengirimkan link grup barunya itu kepada sekitar 500 temannya saja. “Ternyata setelah saya cek malamnya, anggotanya sudah ratusan ribu,” kata Usman kepada VIVAnews. Kini, setelah lebih dari sepekan, anggota telah menembus satu juta pendukung.

Jumlah itu tentu saja fenomenal.  Grup itu mampu menghimpun sekitar 10 persen dari seluruh pengguna FB di Indonesia. Dia bahkan jauh melampaui jumlah anggota grup “Dukung Prita Mulysari” yang hanya 94 ribu. Laman FB ini juga sukses memunculkan ide dukungan lebih kongkrit seperti aksi unjuk rasa dan gerakan mengenakan baju hitam atau pita hitam pada 2 November 2009 lalu.  Belakangan ajakan itu juga menyebar cepat ke jejaring mikroblog Twitter, Plurk, forum diskusi Kaskus, hingga berbagai milis.

Dari dunia maya, kemarahan merebak ke jalanan. Pada Senin pekan lalu itu, di Jakarta saja, terjadi tak kurang dari enam  aksi demonstrasi. Ada demonstrasi Pengurus Besar Mahasiswa Islam di Bundaran Hotel Indonesia, lalu demo HMI MPO di Mabes Polri.  Kemudian muncul Aliansi Nasional Tindak Korupsi dan Gerakan Rakyat Anti Korupsi yang beraksi di Mabes Polri dan Depan Istana Merdeka. Di bundaran Hotel Indoensia, sekelompok orang dari Komisi Masyarakat untuk Penyelidikan Korupsi melakukan aksi protes atas sikap polisi itu.

Di grup Facebook itu juga beredar undangan untuk aksi masa dalam bentuk jalan sehat, plus memakai pita hitam, pada Minggu pagi 8 November 2009. Bertajuk “Konser Musik Indonesia Hebat Tanpa Korupsi—Negeriku Cintaku”, rencananya akan menampilakan sejumlah grup musik seperti Slank, dan lain-lain.

Di daerah, kemarahan juga meluap. Aksi “Cicak—Cinta Indonesia Cinta KPK” menggoyang Jawa Tengah dan Padang. Di Universitas Andalas, Padang, sejumlah dosen malah ikut serta demonstrasi bersama mahasiswa. Di Bandung, unjuk rasa dilakukan mahasiswa Unpad, STT Tekstil, ITB, Polban, UPI, IKOPIN, DEM Poltekpos. Di Sulawesi, demo dimotori oleh HMI se-Sulawesi Selatan. Itu belum termasuk ‘aksi unjuk rasa’ memakai pita hitam oleh puluhan Pemimpin Redaksi saat bertemu Menkominfo Tifatul Sembiring Senin 2 November 2009 malam.

Dukungan begitu besar terhadap Bibit dan Chandra itulah membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mengambil tindakan cepat. Dia lalu mengundang empat tokoh ke Istana, yakni Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia Teten Masduki, serta Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.

Keempat tokoh ini merekomendasikan gelar perkara ulang, serta dibentuknya tim pencari fakta. Selain empat tokoh itu masuk sebagai anggota, Tim Pencari Fakta dipimpin Adnan Buyung Nasution (Ketua), Kusparmono Irsan (Wakil), Staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana (Sekretaris Jenderal), Todung Mulya Lubis, Amir Syamsuddin, Hikmahanto Juwana, Anies Baswedan, dan Komaruddin Hidayat.

Tim TPF atau Tim Delapan ini nyaris saja bubar. Soalnya, sejumlah rekomendasinya, seperti himbauan agar Kabareskrim dicopot dan Anggodo ditahan, tak kunjung dilaksanakan Polri. Hikmahanto Juana sempat ‘ngambek’ dan mengancam mundur. Buyung juga ‘marah-marah’. “Buat apa kami bekerja bila rekomendasi kami dilecehkan?”, ujar Hikmahanto.

Belakangan, Hikmahanto urung mundur. Itu pun setelah Menkopolhukam Djoko Suyanto memohon kepada dia untuk memikirkan ulang niatnya. Akhirnya, seluruh Tim 8 bertahan. Susno pun belakangan dinonaktifkan sementara oleh Kapolri.

Tapi toh reaksi politik di jalanan tak serupa dengan sikap beberapa fraksi di DPR-RI. Sejumlah politisi di parlemen malah “sewot” melihat kehadiran Tim Delapan. Tim itu ditakutkan bisa menjadi ‘superbody’. “Kewenangan Tim Delapan jangan sampai melampaui kewenangan Presiden,” kata Anggota Komisi III dari Partai Golkar Bambang Soesatyo, kepada VIVAnews, Jumat 6 November 2009 malam.

Menurutnya, situasi justru mengarah pada upaya kriminalisasi terhadap Polri, yang selanjutnya bisa merusak konstruksi hukum yang ada. “Bila masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan kejaksaan, kepolisian, mereka harus percaya kepada siapa lagi?” ujar Bambang.

Dia juga mengaku percaya betul dengan fakta-fakta yang diungkap Kapolri pada rapat DPR Kamis lalu. “Sulit membantah pernyataan yang dikatakan oleh Kapolri,” kata Bambang. Kapolri memng diundang oleh Komisi III DPR-RI untuk menjelaskan ihwal penahanan Bibit dan Chandra itu.

Di sana, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri sempat menyinggung bukti-bukti materiil yang mungkin bakal menjerat Bibit-Chandra. sulit ia bantah. Antara lain, bukti rekaman parkir kendaraan KPK di sejumlah lokasi kejadian, misalnya di Pasar Festival Kuningan Jakarta Selatan. Ada pula daftar rekening koran, bukti transfer bank, serta daftar rekaman percakapan telepon maupun SMS dari Ari Muladi kepada Bibit dan Chandra.

Tapi, cerita toh belum berakhir. Ari Muladi membantah telah memberikan uang kepada Bibit-Chandra. Dia juga telah menarik kesaksiannya yang pernah diberikan kepada polisi. “Saya berbohong mengatakan Bibit-Chandra menerima uang,” kata Ari kepada satu stasiun televisi swasta Jumat lalu.

Meski kemarahan publik masih terus berlanjut, ada peringatan dari bekas Ketua MPR RI Amien Rais. Dia mengingatkan agar konflik KPK-Polri tidak dipolitisir. Apalagi sampai membangkitkan nihilisme. “"Nihilisme dapat menimbulkan chaos (kekacauan) dan anarkisme," ujar Amien kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat lalu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya