'Paris' yang Sinis

VIVAnews - Ketika mendengar kata Paris, orang akan langsung berpikir tentang romantisisme tak kunjung padam,  kucuran anggur yang tak mengenal musim, serta kebahagiaan yang senantiasa luber. Namun, bagi Pierre, “Tidak ada seorang pun yang berbahagia, di Paris.”

Pierre memang hanya seorang penari yang hidup dalam film 'Paris' (2008) arahan Cédric Klapisch. Ia juga mungkin akan dilupakan penonton ketika keluar dari ruang tonton di perhelatan festival film Eropa 2008, yang memetik tema "City Landscapes and Urban Visions." Namun, orang jadi tahu, tak selamanya rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman kita sendiri.

Film ini berkisah tentang seorang warga Paris, Pierre (Romain Duris). Penari di kelompok kabaret terkenal Moulin Rouge, yang divonis menderita penyakit jantung tingkat lanjut. Ia berpikir tak lama lagi akan mati. Membayangkan akan mati sontak membawa makna baru dalam hidupnya. Motivasi untuk melihat orang-orang yang ia temui dengan 'kacamata' baru yang berbeda pun muncul.
 
Kemudian, ia mengabarkan berita tersebut kepada kakaknya, Elise, yang diperankan cukup baik oleh si menawan Juliet Binoche. Elise seorang pekerja sosial dengan tiga anak yang hidup sendiri. Ia lalu memutuskan untuk tinggal di apartemen Pierre, sekadar untuk membesarkan hati sang adik yang bertambah rapuh.

Kemudian, kamera bergerak ke tokoh-tokoh lain yang seakan-akan tak berhubungan, seperti layaknya dalam Magnolia (1999) -film yang mengantar Tom Cruise dinominasikan sebagai Aktor Pendukung Terbaik dalam ajang Oscar-. Tokoh-tokoh itu antara lain penjual sayuran dan buah-buahan, guru besar sejarah, arsitek, foto model, imigran ilegal.

Lalu, dengan berlatar kota Paris yang hibuk, padat, sedikit kacau-balau, dan keras, penonton diajak untuk mengenali masing-masing tokoh itu. Seperti kisah antara Elise dan seorang penjual buah, Jean (Albert Dupontel), yang merasa bahwa hidup telah memperlakukannya dengan buruk. Jean diceritakan sedang bermasalah dengan kekasihnya. Kita pun diperlihatkan masalah-masalah yang merundungnya.

Elise diceritakan nyaris tiap pagi membeli buah di kiosnya, tanpa bertukar percakapan. Suatu saat, kekasih Jean meninggal dalam sebuah kecelakaan. Itu membuatnya dekat dengan Elise, yang ternyata merupakan orangtua dari anak yang menjadi teman anaknya. Kematian, dengan kata lain, menjadi 'berkah' bagi si penjual buah tersebut. Ia pun mulai bisa membangun dunianya kembali.

Atau juga profesor sejarah di Sorbonne, Roland Verneuil, yang perannya ditafsirkan dengan brilian oleh aktor tua Fabrice Luchini. Ia mengalami periode aneh dalam hidupnya dan kasmaran dengan salah satu mahasiswi. Ia adalah orang yang selalu bicara tentang kota Paris dan membawa penonton ke subjek omongannya. Ia menjadi penting karena menjadi semacam penghubung antara kota Paris yang sublim dan film yang kita saksikan. Ia menjadi semacam pengantar bagi penonton memahami Paris yang sarat sejarah.

Film yang berdurasi 130 menit dan akan diputar lagi di Erasmus Huis, Kuningan, pada 29 Oktober 2008 ini secara umum bercerita tentang kesendirian dan keterasingan warga kota di tengah hubungan antar manusia yang rumit dan cenderung instan. Warga kota merasa tak lagi mampu mengatasi kesepian yang menusuk, justru ironisnya, di tengah gegap gempita kota.

Namun, seperti apa yang dirasakan oleh Pierre dan tokoh lain dalam film Paris, kaum urban dapat 'menemukan ulang' dan 'mendefinisikan lagi' dirinya ketika dipertemukan dengan krisis. Dan salah satu krisis tersebut, dalam kasus Pierre, detik-detik menjelang kematian. 

Parkir Liar Kian Menjamur di Minimarket, Seperti Apa Aturannya?
Parto Patrio

Parto Patrio Dilarikan ke Rumah Sakit

Dalam video itu, Parto terlihat memejamkan mata dalam perjalanan menuju ke rumah sakit.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024