Chatib Basri

Strategi Hadapi Krisis Keuangan

Krisis keuangan global sudah merembet kemana-mana. Namun, tak jelas secepat apakah krisis berakhir. Tidak ada seorang pun ekonom yang bisa menyatakan dirinya paling benar dalam memprediksi perkembangan ke depan.

Itulah enaknya jadi ekonom saat ini. Karena itu, saya pun memilih dalam posisi ini karena inilah yang paling baik.

Jika kita mencermati perekonomian AS, kemungkinan pertumbuhannya akan negatif pada 2008-2009. Namun, sesungguhnya yang lebih mengkhawatirkan adalah pasar finansialnya.

Pertanyaannya, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?

Sesungguhnya, ekonomi Indonesia justru Indonesia terlalu bagus pada 2008. Bayangkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup kuat sampai triwulan kedua 2008 masih tumbuh 6,4 persen.

Investasi tumbuh 12,8 persen, volume ekspor lebih dari 15 persen. Bahkan, Indonesia selalu tumbuh di atas 6 persen sejak kuartal keempat 2006.

Namun, dalam situasi krisis global seperti sekarang, fundamental ekonomi menjadi tidak relevan. Jika kemudian terjadi pelarian modal, maka semua negara akan mengalami persoalan.

Merosotnya pertumbuhan ekonomi di Amerika itu akan membuat permintaan impor terhadap barang Indonesia menurun. Jika satu negara mengalami resesi, maka dia akan mengurangi permintaan dari negara lain. Jadi, ekspor Indonesia akan kena.

Di sisi lain, sisi permintaan tumbuh begitu cepat. Namun, pertumbuhan itu tidak diimbangi dengan pasokan sehingga harus impor. Jika impor tumbuh tinggi, sedangkan ekspor turun, maka transaksi berjalan atau current account akan defisit.

Inilah yang mengkhawatirkan investor. Jika current account-nya defisit, sedangkan investor menilai sumber penerimaan neraca modal atau capital account berasal dari portofolio mereka, maka mereka menganggap negara ini berisiko. Mereka pun bisa meninggalkan Indonesia dan emerging market lainnya.

Ini adalah pukulan pertama. Pukulan kedua di sektor keuangan. Ini terkait dengan masalah likuiditas. Ketika investor mulai kesulitan likuiditas, maka mereka akan menarik uangnya dari emerging market.

Lantas, bagaimana strategi Indonesia menghadapi situasi ini?

Jika melihat dari sisi pergerakan nilai tukar. Indonesia bukanlah negara paling buruk dalam depresiasi. Penurunan kurs rupiah dari Rp 9.200 menjadi 9.800 per dolar sesungguhnya hanya terdepresiasi 4-5 persen. Bandingkan dengan mata uang lain, seperti Won Korea, penurunannya jauh lebih tajam. Jadi, depresiasi rupiah tidak sejelek negara lain.

Dari sisi transaksi berjalan, suatu negara akan berbahaya jika defisit transaksi berjalannya besar. Risikonya akan  meningkat. Karena itu, tak mengherankan jika indeks saham turun lebih tajam di negara yang defisit current account-nya besar.

Jadi, kalau dalam situasi terjadi ekpansi, sebagian impor Indonesia digunakan untuk bahan baku dan barang modal. Ini menunjukkan ekonomi kuat, namun di sisi lain transaksi berjalan defisit. Dalam survei neraca Indonesia defisit US$ 1,8 miliar.

Namun, sesungguhnya tidak ada persoalan karena neraca modal surplus US$ 3,7 miliar. Artinya, jika defisit perdagangan bisa ditutup dengan surplus modal, maka secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia positif.

Persoalannya, sumber modal datangnya dari mana? Yang berasal dari investasi asing langsung hanya US$ 958 juta. Sedangkan, investasi portofolio US$ 4,3 miliar. Jika terjadi kekeringan likuiditas di AS, maka modal dalam bentuk portofolio itu harus pulang ke nagaranya. Artinya US$ 1,8 miliar ditambah US$ 4,3 miliar itu berpotensi pergi jika terjadi apa-apa.

Jika itu terjadi, maka neraca pembayaran Indonesia akan negatif. Dampaknya, nilai tukar rupiah bisa kena. Inilah yang dikhawatirkan investor.

Dalam situasi seperti ini, sesungguhnya menjaga neraca perdagangan menjadi momen penting sebagai patokan. Artinya, meski modal portofolio banyak yang keluar, bagaimana memelihara current account sehingga neraca pembayaran tetap positif.

Untunglah pada Agustus lalu, ekspor sudah lebih besar dibandingkan impor. Jika ini terus terjadi, saya berharap current account pada akhir tahun akan surplus, kalaupun negatif angkanya kecil sekali. Tahun depan transaksi berjalan diharapkan surplus.

Untuk memelihara transaksi berjalan tetap surplus, ada sejumlah implikasinya. Pertama, impor harus rendah. Langkah pemerintah mengajukan asumsi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,5 – 6,1 persen adalah sinyal yang penting sekali. Apalagi, setelah diputuskan pertumbuhan cukup 5 persen.

Kedua adalah defisit anggaran tidak bisa terlalu besar. Sebab, jika terlalu besar, maka pemerintah akan menutupinya dari pasar obligasi. Persoalannya, saya tidak begitu yakin situasi pasar saat ini karena 60 persen pembeli obligasi Indonesia berasal dari Eropa dan Amerika yang sedang krisis. Jadi, dalam situasi sekarang kita tidak bisa terlalu opimistik.

Karena itu, pemerintah harus mencari sumber pembiayaan dari non pasar. Salah satunya dari Bank Dunia yang berkomitmen memberikan pinjaman US$ 2 miliar. Opsi ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Lantas dari sisi likuiditas. Problem Indonesia yang utama sesungguhnya bukan soal likuiditas dalam rupiah, tetapi dalam dolar AS. Kekurangan pasokan dolar AS bukan hanya terjadi di  Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat. Karena itu, langkah BI mengendurkan likuiditas valas adalah tindakan penting. Misalnya, bagaimana BI menurunkan giro wajib minimum valas bank umum menjadi 1 persen dan membuka fasilitas valas.

Upaya pemerintah menaikkan jaminan simpanan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar merupakan tindakan positif. Namun, menurut saya, jaminan simpanan nasabah 100 persen juga diperlukan. Jangan sampai orang menaruh duitnya di negara lain.

Yang terakhir adalah kebijakan baik yang lahir dalam situasi buruk. The bad time always make a good policy. Buktinya, hanya dalam tempo satu pekan lahir Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Ini semua untuk mencegah agar krisis mendalam tidak terjadi di Indonesia.

Sekjen Golkar Tegaskan Munas Tak Bisa Dimajukan Sebelum Desember 2024

Analisis ini disarikan dari seminar "Krisis Global dan Dampaknya Ekonomi Dunia dan Indonesia" di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2008.

Kawasan PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR)

Lippo Karawaci Cetak Pendapatan Rp 17 Triliun di 2023, Kantongi Laba Bersih Rp 50 Miliar

PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 15 persen year on year (YoY) menjadi Rp17 triliun pada 2023.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024