Rumput Laut yang Mengubah Hidup

VIVAnews - Ketika air di selat antara Pulau Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan makin surut, puluhan petani rumput laut dua pulau kecil di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung ini segera turun ke laut. Petani laki-laki membawa dua keranjang yang dipikul. Petani perempuan membawa satu keranjang yang diseret dengan bekas ban hitam sebagai alas.

3 Orang Tewas Imbas Longsor dan Banjir Lahar Dingin di Wilayah Gunung Semeru

Tak sedikit pula petani rumput laut yang mendayung sampan dengan galah bambu menuju areal pertanian rumput laut mereka yang terletak agak di tengah pantai. Rabu siang, sekitar pukul 1, pekan lalu air masih tersisa sekitar 30 cm sehingga mereka masih bisa mendayung sampannya.

Sampai di lahan pertanian rumput lautnya, para petani itu segera memeriksa tanaman tersebut. Bulan ini suhu air tidak terlalu bagus untuk rumput laut. Ini siklus yang terjadi tiap enam bulan sekali. Antara bulan Desember hingga Mei adalah musim hujan di mana suhu air laut jadi lebih panas sehingga merusak rumput laut.

Nikita Mirzani Beberkan Pemicu Kandasnya Jalinan Asmara Hingga Soal Kesetiaan

Namun pada enam bulan lainnya adalah musim di mana petani setempat bisa mendapatkan hasil pertanian rumput laut yang jauh berlimpah. “Hidup kami bisa berbuah jauh lebih baik setelah kami bertani rumput laut,” kata I Gede Lama, petani rumput laut di Dusun Nusa Ceningan.

Perubahan yang paling jelas, menurut kelian adat Banjar Ceningan Tengah, ini adalah dari rumah warga yang sekarang sudah berdinding tembok. “Sebelum bertani rumput laut, rumah kami semua hanya berdinding batu dengan lantai tanah dan atap dari daun kelapa,” kata bapak satu anak yang akrab dipanggil Pak Bagas ini.

Kasus Pemerasan Firli Bahuri Mandek, Kombes Ade Safri: Pasti Tuntas

“Bukan hanya rumah yang sekarang bagus. Warga sini juga makin banyak yang sekolah. Sepeda motor pun jadi sesuatu yang biasa bagi kami dari yang sebelumnya adalah barang mewah,” tambahnya.

Dengan perubahan ekonomi yang makin baik, kini dari sekitar 300 kepala keluarga di Nusa Ceningan pun hampir semuanya bertani rumput laut. Jagung dan singkong di kebun kering mereka hanya jadi sampingan saat ini. Padahal sebelumnya semua warga bergantung pada pertanian lahan kering tersebut.

Meski demikian, menurut Kadek Sukadana, petani lain di Ceningan, warga setempat pada awalnya apatis pertanian rumput laut. Ketika pada 1983 ada pendatang bernama Bambang mengenalkan rumput laut jenis spinosum (Eucheuma spinosum) pada warga setempat, banyak warga yang tidak mau ikut. “Apalagi yang mengenalkan adalah orang Jawa,” tambah Lama.

Pada awalnya diperkenalkan itu hanya ada satu dua warga yang bersedia mau belajar bersama Bambang. “Kami belajar menanam rumput laut yang diikat pada tali menggunakan patok dari pohon gamal. Ketika hasilnya makin bagus, warga makin banyak yang tertarik,” ujar Sukadana.

Saat itu rumput laut spinosum dijual dengan harga Rp 1000 per kilogram kering. Meski pendapatan masih sedikit warga mulai tertarik.

Tak lama setelah itu datang lagi pendatang lain bernama Sumarso yang mengenalkan rumput laut jenis lain yaitu katoni (Eucheuma cottonii). Jenis baru ini, menurut Lama, lebih mahal dibanding jenis spinosum yang hanya dipakai sebagai bahan baku es. Sedangkan jenis katoni biasa dipakai sebagai bahan baku produk kosmetik dan obat-obatan.

Dibanding Bambang yang tinggal hanya sekitar enam bulan, Sumarso tinggal lebih lama bahkan sampai bertahun-tahun di dusun tersebut. Tak hanya mengajarkan cara budidaya, Sumarso juga mengenalkan cara pengeringan rumput laut sampai siap dijual. Warga pun semakin banyak yang bisa belajar apalagi harga rumput laut juga makin mahal. Per kilogram jenis katoni ini bisa sampai Rp 15 ribu per kilogram kering.

Makin banyaknya warga yang bertani rumput laut memunculkan masalah kepemilikan lahan. Sebab sistem kepemilikan lahan di sini, meminjam ungkapan Gede Lama, memang seperti hukum rimba. Siapa kuat dan cepat dia yang dapat. Petani yang pertama kali mengkapling lahan di pantai tersebut langsung diakui sebagai pemilik lahan tersebut meski tanpa adanya sertifikat kepemilikan layaknya lahan pertanian pada umumnya.

“Toh kami tidak pernah sampai rebutan lahan meski sistemnya kepemilikannya demikian,” tambahnya.

Menurut Lama ada dua kali masa keemasan rumput laut di Nusa Ceningan yaitu pada 1987. Karena harga dan kebutuhan rumput laut jenis katoni sangat tinggi pada saat itu maka warga pun ibarat kejatuhan durian runtuh. “Tiap hari sampai ada warga yang beli motor saking banyaknya penghasilan dari jual rumput laut,” katanya.

Masa keemasan yang kedua adalah pada Juli tahun lalu ketika harga rumput laut bisa sampai Rp 15 ribu per kilogram kering dengan kadar air sekitar 6 persen. Dengan lahan sekitar 4 are, satu petani bisa sampai mendapat Rp 100 juta per bulan. “Makanya sama seperti pada tahun 1987, tahun lalu juga tiap hari ada saja warga yang bisa beli motor dari rumput laut,” tambahnya.

Namun, akibat krisis ekonomi global, harga rumput laut kemudian jatuh hingga Rp 3000 per kilogram kering. Saat ini harga rata-rata adalah Rp 4000 per kilogram kering. Selain akibat krisis global, petani lokal juga terkena dampak siklus enam bulanan, ketika musim hujan jumlah panen pun jauh berkurang hingga hanya sepertiga pada masa puncak panen.

Selain tergantung pada situasi ekonomi global petani rumput laut di Nusa Ceningan juga tergantung pada pengepul alias tengkulak. Menurut Sukadana, harga pembelian rumput laut hanya ditentukan sepihak oleh tengkulak.

“Kami tidak bisa menjual ke tempat lain karena kami juga berhutang pada pengepul ketika kami tidak memperoleh pendapatan yang bagus. Kami kan juga butuh uang untuk makan dan sekolah anak-anak ketika musim sedang tidak bagus. Jadi ya kami berhutang ke pengepul,” kata Sukadana.

Koperasi Sarining Segara, milik warga setempat pun belum bisa dipakai untuk tempat menjual hasil pertanian rumput laut secara kolektif. “Kami tidak mungkin bisa melawan pengepul yang sudah punya modal jauh lebih besar dan jaringan pemasaran lebih luas,” ujar Lama.

“Kami sadar kami dipermainkan. Tapi kami tidak lepas dari pengepul,” tambahnya. [b]

logo balebengong

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya