Bankir Brooklyn yang Jatuh Cinta kepada Aceh

VIVAnews - Muhammad Ali Ar masih tidak dapat memahami apa yang terjadi ketika gelombang besar menyeretnya jauh dari rumah dan keluarganya. "Saya syok, semua hal menghilang dan saya hanya bisa memikirkan keluarga saya," kata Ali seperti dikutip laman harian The New York Times.

Belakangan Ali baru sadar bahwa dia tersapu tsunami yang dipicu gempa 9,3 Skala Richter. Tsunami pada 26 Desember 2004 itu menewaskan hampir 170 ribu orang, termasuk keluarga Ali. "Saya merasa harus memikirkan sesuatu untuk mengalihkan perhatian, tapi tidak ada yang dapat saya lakukan," kata Ali yang sebelum bencana itu terjadi merupakan wakil kepala desa.

Di sisi lain dunia, Sara Henderson baru saja merayakan Natal bersama empat anak dan sembilan cucunya di kota New York ketika mendengar tsunami menghancurkan bumi Aceh. Henderson mengaku terkejut saat menerima kabar itu.

Henderson lalu memutuskan untuk membantu Indonesia yang telah dia anggap sebagai negara keduanya itu. Selama 15 tahun, Henderson bekerja sebagai bankir Ecoban di Jakarta namun dia mengaku tidak tahu apa-apa mengenai Aceh. "Kami, orang asing, tidak diizinkan mengunjungi Aceh," ujar dia seperti ditulis di laman Women's Voices For Change.

Seorang teman mengajak Henderson ikut ke Aceh saat dia kembali ke Jakarta. Perempuan yang kini berusia 68 tahun ini setuju karena mengira tidak akan berada lama di Serambi Mekkah. "Pemandangan saat itu sangat buruk, lumpur merendam banyak area dan orang-orang dengan mata kosong lalu-lalang tanpa tujuan," kata Henderson mengenang.

Namun orang-orang yang terus berkeliaran itulah yang membangkitkan rasa kemanusiaan Henderson. Dia mengaku tidak akan sanggup bangun dari tempat tidur jika dia mengalami kehilangan seperti yang diderita warga Aceh.

Dorongan untuk membantu itu membuat bankir kelahiran Brooklyn ini tetap berada di Aceh, hingga hari ini. Awalnya dia merogoh kantung sendiri untuk membangun rumah-rumah bagi penduduk Aceh. Henderson bercerita bahwa tidak beroperasinya bank-bank di Aceh membuat dia terpaksa membawa dan mengangkut uang senilai US$ 30 ribu di bawah jok mobilnya.

"Saya harus melewati 32 pos pemeriksaan militer ketika melewati daerah kekuasaan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)," ujar salah satu perempuan bankir pertama di Asia ini.

Setelah perjanjian perdamaian antara GAM dan pemerintah Indonesia ditandatangani, gerak Henderson dan relawan lain lebih bebas. Setiap hari, Henderson dapat pergi ke desa-desa terpencil melalui jalanan yang rusak atau dengan perahu untuk menyalurkan bantuan.

Henderson mengatakan dia seringkali harus bekerja sendiri di tempat yang terisolasi. Namun dia menyatakan harus ada yang melakukan hal itu. "Kita 'kan tidak dapat mengabaikan orang-orang yang tinggal di tempat yang salah," kata dia.

Lilianne Fan dari Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pembangunan (UNDP) mengatakan seluruh pekerjaan Sara sangat luar biasa. "Namun yang membuat dia lebih istimewa adalah karena dia bekerja di kawasan yang sangat jauh di mana tidak ada Lembaga Swadaya Masyarakat lain," kata Fan.

Henderson-lah orang yang memberikan pekerjaan bagi Ali. Bersama Muslim Djalil, seorang dosen ekonomi, mereka membangun 51 rumah di desa Rumpet. Dananya diambil dari tabungan Henderson.

Ali bahkan kini telah menikah, memiliki dua anak, dan sebuah rumah baru. "Sosok Sara seperti ibu bagi saya. Saya tidak akan dapat bertahan jika dia tidak muncul. Saya selalu mendoakannya karena Sara juga telah melakukan hal yang sama untuk banyak orang," tutur Ali.

Setelah sukses membangun tempat tinggal untuk korban tsunami, Henderson kini memfokuskan diri menciptakan lapangan pekerjaan. Di Lamtui, dia melatih warga untuk mengelola peternakan kambing perah yang pertama di Aceh.

Atas permintaan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh, Henderson mendirikan pusat perempuan pertama di Aceh. Selain itu, Henderson mendirikan sekolah kecil di hampir seluruh 30 desa yang telah dia kunjungi. Di sekolah itu, mantan anggota GAM diajari membaca, menulis, dan keterampilan praktis lainnya.

Kegiatan Henderson nyaris tiada henti. Pada 2006, dia mengambil alih program pemurnian air di Aceh Barat. Tahun lalu, dia memberikan bantuan bagi 200 pengungsi Muslim Rohingya dari Burma yang tiba di Aceh Timur.

Lima tahun setelah tragedi tsunami, Henderson dan organisasi yang dia dirikan, Building Bridges to the Future Foundation atau Yayasan Masa Depan, adalah salah satu kelompok yang masih tinggal di Aceh. "Saya tidak terkejut bahwa Sara masih di Aceh. Saya tahu dia merasa pekerjaan di Aceh masih jauh dari kata selesai," kata mantan Kepala BRR, Kuntoro Mangkusubroto.

Henderson sendiri mengaku selalu menyempatkan diri pulang ke New York. "Jika tidak, anak-anak akan membunuh saya," katanya sambil tergelak.

Kombes Ade Ary Blak-blakan Soal Kasus Aiman yang Disetop, Alasannya Bukan Politis
Trafik layanan broadband Telkomsel.

Intip Persiapan Telkomsel 'Mengukur Jalan' Jelang Lebaran

Telkomsel melakukan sejumlah persiapan jaringan demi kelancaran komunikasi masyarakat saat musim mudik Lebaran.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024